Rumah sudah senyap. Hujan gerimis mengetuk genting, hanya suara detak jam yang terdengar. Rani baru saja terlelap di kamar tamu setelah seharian membantu mertuanya menyiapkan acara keluarga.

Tiba-tiba pintu diketuk cepat. Tok tok tok.
“Rani, bangun!” suara Pak Wiryo, ayah mertuanya, terdengar mendesak.

Rani terlonjak, jantungnya berdegup. Ada apa tengah malam begini?

“Maaf, Pak… ada apa?” tanyanya sambil membuka pintu sedikit.

“Banjir! Sungai belakang meluap. Kita harus angkat barang dan siapkan jalur evakuasi. Ayo, saya butuh bantuan sekarang,” ucap Pak Wiryo.

Tanpa pikir panjang, Rani menarik jaket dan sepatu. Mereka berdua menyusuri halaman gelap, membawa senter. Di sela hujan, Pak Wiryo memberi instruksi, “Kita harus pindahkan mobil dan peralatan dapur ke loteng. Lari kecil saja, biar cepat.”

Malam itu berubah jadi “olahraga” tak terduga: berlari di jalan licin, mengangkat karung beras, memindahkan galon air.

Saat fajar tiba, hujan reda. Rani menatap halaman yang berhasil mereka selamatkan. Nafasnya terengah, tapi senyum lega mengembang.

Pak Wiryo menepuk bahunya. “Kamu hebat. Tanpa kamu, banyak yang hanyut.”

Rani tersenyum, rasa lelah tergantikan hangatnya kebersamaan. Malam yang awalnya menakutkan justru menjadi kisah keberanian keluarga.

LihatTutupKomentar